6 kerusakan valentine’s day  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO


Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari ValentineSebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.

Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.

Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.

Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

Kerusakan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Kerusakan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Kerusakan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Read More......

Gadis Kecilku yang Sabar  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO


Aisyah nama itu yang kami berikan saat dia lahir didunia ini. Saat ini telah menginjak usia 1 tahun 7 bulan. Saat usianya telah menginjak 1 tahun dia terkena sakit batuk yang setelah dua minggu tak kunjung sembuh meski telah di obati bahkan dia mulai sesak napas, dan ternyata dokter mengatakan dia terkena asma.

Saat itu kami sebagai orang tuanya sebenarnya kaget dan juga pahit mendengar diagnosa dokter, tapi matanya yang tajam menatap kami seolah menguatkan hati dengan mengatakan “ ini masih belum kiamat, doakan aku untuk kuat dan sabar menerima semua ini ”. dia tidak pernah mengeluh, bahkan saat sakitpun dan dalam keadaan dia susah bernafas juga tidak ada keluh kesah. menangispun tidak asal dia bisa tidur juga istirahat. Seolah segala tingkah lakunya dan tatapan matanya mengatakan “ tegarlah dalam menerima semua ini”, karena dia tetap lincah dan aktif.

Kadang saat dia batuk dan susah bernafas sepertinya dia bertanya ” apakah ini yang umi rasakan dulu?”

Memang saya dulu pernah mengidap asma karena kemasukan air ketuban saat lahir. Dan saat ini telah sembuh. Saya ingat betul bagaimana sakitnya tidak bisa bernafas , bagaimana susahnya melakukan sesuatu dengan kondisi susah bernafas, dan bagaimana indahnya kesehatan saat kita bisa merasakan rongga dada kita dapat merasakan kelegaan nafas. Subhanallah! Maha suci Allah...Sungguh nikmat Allah itu sangat luar biasa nikmatnya dan indahnya...

Saya kasihan melihat dia yang hampir setiap minggu kedokter atau paling tidak sebulan sekali. Berat badan susah naik, meski makan normal dan vitamin terus diberikan tapi penyakit itu yang telah menggerogoti tubuhnya yang masih kecil itu. Setiap orang yang bertemu pasti berkomentar. Aisyah makin kurus ya? Aisyah sakit –sakitan ya? Aisyah makanannya gak dikasih makanan yang bergizi ya? Dan banyak lagi komentar yang kadang kalau hati kita tak kuat ingin sekali aku menangis, pedih, perih yang kurasa. Dan mereka hanya bisa mengatakan seperti itu. Mereka tak akan pernah paham dan mengerti kalau mereka belum pernah merasakan dan tahu bagaimana mahalnya pernafasan itu.

Yaa Allah... betapa perih, sakit hati ini bila tak sadari kalau sebenarnya ini adalah tanda cintaMu, betapa aku tidak terima kalau tidak ingat ini adalah jalan untuk kami menggapai rahmatMu. Betapa aku ingin berontak untuk menolak semua ini kalau tidak ingat ini adalah pemberian terindah dariMu. “Allah masih bersamaku kah Engkau saat ini?”

Sudah pernah kurasakan dulu mulai aku kecil, bukan hanya rasa sakit dari penyakit ini tapi juga sakitnya disisihkan oleh teman sendiri dan mereka juga manusia. Saya dulu juga merasakan bagaimana mereka menjauh saat penyakit itu ada dalam tubuh saya, mereka menjauh saat saya tidak bisa sepadan dengan mereka dalam hal materi karena uang saya habis untuk berobat bukan untuk beli mainan atau baju yang sama mahalnya dengan mereka. Saya juga tidak dapat merasakan makanan yang anak – anak lain bisa makan. Pernah samapi ada yang mengatakan “ masak uang 3500 rupiah saja tidak punya untuk bayar sekolah bulan ini?” karena masa itu saya habis perawatan keluar kota, dan guru saya itu tidak mau terima dengan alasan yang saya berikan. Pernah juga disuatu acara saya tidak diajak main teman – teman, karena saya tak memakai baju yang sebagus mereka. Banyak sebenarnya kepedihan kalau mau diuraikan. Saya juga manusia biasa yang bisa mengeluh dan kadang tidak sabar.

Tapi itu untungnya cuma manusia yang menjauh dari saya, bukan Allah!!!

Allah dengar doaku, doa ibu dan juga orang terdekat. Allah berikan sakit itu untuk mengajakku dekat dan semakin mendekat padaNya, dalam balutan kasih dan cintaNya.

Saat ini setelah semua terjadi dan semua telah kumengerti. Ucapan kata yang patut ku ucapkan adalah “Terima kasih ya Allah, ke Agungan hanya milikMu, kecintaan yang paling besar hanya dariMu, meski semua orang memandang kami hina.”

Kesenangan, atau ketidak senangan dalam hidup ini adalah karuniaNya. Allah sayang kepada kita, dan semua yang diberikanNya adalah pemberian yang harus disyukuri dan dinikmati dengan kesabaran dan keikhlasan.

Allah memang pemilik cinta yang sebenarnya, dan Dialah yang punya skenario atas semuanya. Dan Allah punya hikmah terbesar dan terindah. Tidak semua orang bisa merasakan dan menikmati tanda cintaNya.

“Ya Allah tidaklah aku terima semua karunia dari Mu hari ini atau yang melalui hambaMu, kecuali bahwa itu hanya dari Engkau semata, tiada sekutu bagiMu dan segala ucapan terima kasih itu hanya milikMu. ”

“ ya Allah sungguh diri kami ada dalam genggamanmu, kuatkan kesabaran kami dan kuatkan kami dalam menerima semua ini. Dan jangan jadikan kesedihan dan kesenangan ini sebagai alat bagi kami untuk jauh dan menghindar dariMu. dariMu dan kepadaMu kami kembali. Tidak ada yang kami harapkan selain rahmat dariMu, masukkanlah kami kedalam surgaMu bersama orang – orang yang sabar”

Wahai anakku kesabaranmu yang buat kami kuat saat ini....

Wahai gadis kecilku ajarkan kepada kami arti sabar dan ikhlas....

Wahai gadis keciku semoga Allah jadikanmu permata dalam surgaNya kelak...

Sungguh Engkaulah ya Robb yang telah menjadikan semua ini...

http://www.eramuslim.com/oase-iman/gadis-kecilku-yang-sabar.htm



Read More......

Ada apa dengan cinta pada sang ibu?  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO


Penulis : Abu Ahmad Said Yai, Lc.


“Nina bobo’, o Nina bobo’, kalau tidak bobo’ digigit nyamuk.“ Sedih juga rasanya mendengar kalimat-kalimat itu, mengingatkan kita pada perngorbanan ibu saat membesarkan kita, sewaktu mengandung, melahirkan, menyusui, sampai kita menjadi besar. Kasih sayang ibu masih terasa sampai sekarang.

Bertahun-tahun telah berlalu, semakin banyak orang yang melupakan ibunya, melupakan jasa-jasanya.padahal sudah tak terhitung lagi berapa dosa yang telah diperbuat pada sang ibu. Akan tetapi, ibu selalu sabar, tabah dan mendoakan kebaikan pada anaknya.

Begitu menyayat di hati, begitu pekak di telinga, begitu menusuk di mata, ketika melihat dengan mata kepala sendiri seorang anak berbicara kasar pada ibunya, memakinya, menghinanya bahkan sampai memukulnya. Inikah yang dinamakan balas budi?

Allah ta’ala berfirman :

فلاتقل لهما اف

Artinya : “Janganlah kamu katakan pada mereka berdua uf (ah)!”(QS Al-Isra’ :23)

Ungkapan ah yang dianggap remeh oleh manusia ternyata telah dinilai suatu kedurhakaan oleh Allah, apalagi sampai memakinya dan memukulnya.

Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam :

الجنة تحت اقدام الامهات

Artinya : “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Tapi sayang hadits ini sangat lemah (dha’if jiddan).[1] Jika diartikan bahwa dengan berbakti kepada ibu dapat memasukkan orang ke surga, maka hadits di atas memiliki banyak pendukung. Rasulullah r bersabda :

رغم انف ثم رغم انف ثم رغم انف من ادرك ابويه عند الكبر احدهما او كلاهما فلم يدخل الجنة

Artinya : “Sungguh hina/sungguh rendah/sungguh merugi orang yang hidup bersama orangtuanya yang sudah lanjut usia, salah satu atau kedua-duanya, tapi tidak masuk kedalam surga.” (Muslim)

‘Irafah bin Iyas berkata, “Saya melihat Al-Harits Al-Akali di dekat kubur ibunya sedang menangis, kemudian dia ditanya, “Kamu menangis?” Dia menjawab, “Bagaimana tidak, sebuah pintu dari pintu-pintu surga telah ditutup bagiku.

Jihad atau berbakti pada orang tua?

‘Abdullah bin Mas’ud t berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah r “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah? Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Saya berkata, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti pada kedua orangtua.” Saya bertanya lagi,”Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Allah lebih mencintai bakti kepada orangtua dibanding seseorang berjihad di jalan Allah sedang orang tuanya membutuhkannya. Hal itu juga dengan tegas dinyatakan oleh Rasulullahh r ketika menolak salah seorang sahabat yang tidak mendapatkan izin dari orangtuanya dan menyuruhnya kembali ke orangtuanya karena di keduanya terdapat jihad. Begitu juga terdapat atsar dari ‘Umar t dan yang lain.

Ada apa dengan cinta pada ibu?

Cinta pada sang ibu lebih diutamakan daripada ayah. “Untuk ibu tiga perempat bagian dari kebaikan,” kata Imam Ahmad.[3]hal ini dikarenakan ibu adalah orang yang paling dengan dengan anaknya dan paling banyak mengorbankan waktunya dibandingkan dengan ayah.

Kebanyakan tindakan durhaka terjadi pada sang ibu. Ibu adalah seorang wanita dan wanita itu lemah dari segi fisik dan perasaan. Ketika seorang anak sudah merasa besar dan cukup dewasa, bisa saja dia melawan ibunya dengan lisannya atau dengan fisiknya.

Penulis pernah mengunjungi suatu desa. Di desa itu seolah-olah anak laki-laki sudah biasa berkata kasar pada ibunya, membantahnya dan tidak patuh. Akan tetapi,, terhadap ayahnya dia bisa berbicara sopan, patuh dan tunduk. Hati ibu mana yang tidak sakit jika diperlakukan seperti itu?

Al-jaza’u min jinsil’amal (Balasan itu semisal dengan perbuatan), ini adalah salah satu kaidah di dalam agama kita. Apabila seorang anak durhaka pada orangtuanya, maka dia harus bersiap-siap untuk didurhakai oleh anak-anaknya. “Telah banyak cerita-cerita nyata di antara manusia, siapa yang berbakti pada orangtuanya, maka anak-anaknya juga berbakti padanya. Demikian pula dengan perbuatan durhaka. Seseorang yang durhaka pada orangtuanya, maka anak-anaknya akan mendurhakainya,” kata Syaikh Ibnu Al-’Utsaimin.[4] Maukah kita didurhakai oleh anak-anak kita?

Mulai detik ini dan seterusnya mari kita menghitung berapa banyak kesalahan yang telah kita perbuat pada kedua orangtua kita terutama pada sang ibu. Entah itu berupa perbuatan, perkataan atau bahkan ejekan kita di dalam hati.

Taat kepada orangtua merupakan ketaatan pada Allah ta’ala. Sudah semestinya kita membahagiakan hati mereka dan tidak melukainya.

Muhammad bin Al-Munkadir berkata,”Saya pernah semalaman memijat-mijat kaki ibuku sedangkan pamanku mengisi malamnya dengan shalat.Tapi malamnya itu tidak sesenang malamku (bersama ibuku-pent).”[5]

Adz-dzahaby menceritakan tentang Ibnu ‘Aun,”Suatu saat ibunya memanggil, dan dia pun menyahut panggilan itu. Akan tetapi, suaranya lebih keras dari suara ibunya maka dia pun memerdekakan dua orang budaknya.”[6]

Penulis terkesan setelah mendengar cerita dari seorang teman (guru TPA), dia mengisi kajian anak-anak TPA di suatu desa tentang wajibnya berbakti pada orangtua. Setelah kajian anak-anak TPA itu kembali ke rumahnya masing-masing dan dengan segera menjabat tangan orangtuanya dan meminta maaf pada keduanya. Mereka itu adalah anak-anak yang notabene belum dibebani hekum syar’i (gairu mukallaf), bagaimana dengan kita?

Demikian jangan sampai air susu dibalas dengan air tuba. Na’udzu billahi mindzalik.

رب اغففرلي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا

http://jalansemut.wordpress.com/2010/01/14/ada-apa-dengan-cinta-pada-sang-ibu/#more-495

Read More......

HAKIKAT DAN KEDUDUKAN TAUHID  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO

Tauhid, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kita, khususnya kaum muslimin. Karena pada umumnya kita menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai seorang yang bertauhid. Disamping itu, kata ‘tauhid’ ini sangat sering disampaikan oleh para penceramah baik pada waktu khutbah atau pengajian-pengajian. Akan tetapi bisa jadi masih banyak orang yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini bagi kehidupan manusia, bahkan bagi yang telah merasa bertauhid sekalipun.

Berangkat dari banyaknya pemahaman orang yang telah kabur tentang hakikat tauhid dan lupa akan kedudukannya yang begitu tinggi maka penjelasan yang gamblang tentang masalah ini sangat penting untuk disampaikan. Dan karena permasalahan tauhid merupakan permasalahan agama maka penjelasannya tidak boleh lepas dari sumber ilmu agama yaitu Al Quran dan As Sunnah dengan merujuk kepada penjelasan ahlinya, yaitu para ulama.


Pengertian Tauhid dan Macam-Macamnya

1. Pengertian Tauhid

Para ulama Aqidah mendefinisikan tauhid sebagai berikut: Tauhid adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam rububiyah-Nya, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya serta menetapkan nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya. Dengan demikian maka biasa dikatakan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga macam yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma dan Sifat. Kesimpulan ini diambil oleh para ulama setelah mereka meneliti dalil-dalil Al Quran dan hadits yang terkait dengan keesaan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan dibawah ini masing-masing tauhid tersebut. (Lihat Aqidatu Tauhid Syaikh Sholih Al Fauzan Hal. 15-16).

2. Macam-Macam Tauhid

a. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya:

- Pencipta seluruh makhluk.

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

"Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah memelihara segala sesuatu." (QS. Az Zumar: 62)

- Pemberi rizki kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezekinya…" (QS. Hud: 6)

- Penguasa dan pengatur segala urusan alam, yang meninggikan lagi menghinakan, menghidupkan lagi mematikan, memperjalankan malam dan siang dan yang maha kuasa atas segala sesuatu.

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ .

"Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan,engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebijakan. Sesungguhnya engkau maha kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukan malam kedalam siang dan engkau masukan siang kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (QS. Ali Imron: 26 -27). (Lihat Aqidatu Tauhid hal 16-17).

Dengan demikian Tauhid Rububiyah mencakup keimanan kepada tiga hal yaitu:

1. Beriman kepada perbuatan–perbuatan Allah secara umum seperti mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan dan lain-lain.
2. Beriman kepada qodho dan qodar Allah.
3. Beriman kepada keesaan Zat-Nya. (Lihat Al Madkhol li dirosatil Aqidah Islamiyah, Ibrahim bin Muhammad Al Buraikan hal 87).

b. Tauhid Asma dan Sifat

Tauhid Asma dan Sifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya dan hukum-hukumnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

"Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu." (QS. Al A'rof: 180)

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

"Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan Nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al Isro: 110)

لِلَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى

"Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi." (QS. An Nahl: 60)

وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

"Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi." (QS. Ar Rum: 27). (Lihat Mu'taqod Ahlu Sunnah Wal Jama'ah fi Tauhidil Asma wa Sifat, DR. Muhammad bin Kholifah At Tamimi hal 31-34).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid Asma dan Sifat adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan semua nama dan sifat tidak menafikan dan menolaknya.
2. Tidak melampaui batas dengan menamai atau mensifati Allah di luar yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Tidak menyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk-Nya.
4. Tidak mencari tahu tentang hakikat bentuk sifat-sifat Allah.
5. Beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntutan asma dan sifat-Nya. (Lihat Mu'taqod hal 40-41).

Kedua macam tauhid di atas termasuk dalam satu pembahasan yaitu tentang keyakinan atau pengenalan tentang Allah. Oleh karena itu kedua macam tauhid tersebut biasa disatukan pembahasannya dengan nama tauhid ma’rifah dan itsbat (pengenalan dan penetapan). (Lihat Al Madkhol hal 93).

Pada dasarnya fitrah manusia beriman dan bertauhid ma’rifah dan itsbat. Oleh karena itu orang-orang musyrik dan kafir yang dihadapi oleh para Rasul tidak mengingkari hal ini. Dalilnya adalah firman Allah:

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al Mu'minun: 86-89)

قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ

"Berkata rasul-rasul mereka: ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?’” (QS. Ibrahim: 10)

Kalaulah ada manusia yang mengingkari Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah, itu hanyalah kesombongan lisannya yang pada hakikatnya hatinya mengingkari apa yang diucapkan oleh lisannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Firaun dan pembelanya.

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُوراً

"Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu'jizat-mu'jizat itu kecuali Tuhan yang Maha memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Firaun seorang yang akan binasa." (QS. Al Isra: 102)

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ َ

"Dan mereka mengingkarinya karena kedholiman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya." (QS. An Naml: 14)

Demikian juga pengingkaran orang-orang komunis dewasa ini, hanyalah kesombongan dhohir walaupun batinnya pasti mengakui bahwa tiada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan dan tidak ada satu kejadianpun kecuali ada yang berbuat.

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ

أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لا يُوقِنُونَ

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah merekalah yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (QS. At Thur: 35-36). (Lihat Aqidatu Tauhid hal 17-18).

c. Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, bertaubat, dan lain-lain.

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

"Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. Al Baqoroh: 163)

وَقَالَ اللَّهُ لا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

"Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua tuhan. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut." (QS. An Nahl: 51)

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

"Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah, padahal tidak ada sesuatu dalilpun baginya tentang itu maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhan-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir tiada beruntung." (QS. Al Mu’minun: 117). (Lihat Aqidatu tauhid hal 36, Fathul Majid hal 15)

Tauhid inilah yang dituntut harus ditunaikan oleh setiap hamba sesuai dengan kehendak Allah sebagai konsekuensi dari pengakuan mereka tentang Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah. Kemurnian Tauhid Uluhiyah akan didapatkan dengan mewujudkan dua hal mendasar yaitu:

1. Seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah bukan kepada yang lainnya.
2. Dalam pelaksanaan ibadah tersebut harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah. (Lihat Al Madkhol hal 94).

Ketiga macam tauhid di atas memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan, dimana keimanan seseorang kepada Allah tidak akan utuh sehingga terkumpul pada dirinya ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid Rububiyah seseorang tak berguna sehingga dia bertauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, serta Tauhid Uluhiyah seseorang tak lurus sehingga dia bertauhid asma dan sifat. Singkatnya, mengenal Allah tak berguna sampai seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya. Dan beribadah kepada Allah tidak akan terwujud tanpa mengenal Allah. (Lihat Mu'taqod hal 47)

Kedudukan Tauhid

Karena pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah diutus bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul adalah untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi dakwah para rasul adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah. Dalam kehidupan manusia tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antaranya sebagai berikut:

1. Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanyalah) menyembah–Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)

Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah menyembah/ibadah dalam firman Allah adalah perintah untuk bertauhid.

Hakikat tujuan pengutusan para rasul dan materi dakwah mereka.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Toghut (sesembahan selain Allah) itu." (QS. An Nahl: 36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al Anbiya: 25)

3. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu." (QS. An Nisa: 36)

Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk bertauhid terlebih dulu sebelum memerintahkan yang lainnya.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ْ

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19)

Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk bertauhid dahulu sebelum beramal.

4. Pelanggaran tauhid yaitu syirik adalah keharaman yang terbesar.

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

"Katakanlah: Marilah kubacakan apakah yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan dia, berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak……" (QS. Al Anam: 151)

Allah mendahulukan penyebutan keharaman syirik sebelum yang lainya karena keharaman syirik adalah yang terbesar.

5. Materi dakwah yang pertama kali harus diserukan Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz ke Yaman.

Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْماً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ـ وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِلىَ أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ

"Sungguh kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat Lailaha Illallah-dalam riwayat lain disebutkan: ‘Supaya mereka mentauhidkan Allah’." (HR. Bukhori dan Muslim). (Lihat Kitabu Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi bab I, Aqidatu Tauhid hal 36-37)

Demikianlah sekilas tentang tauhid dan kedudukanya semoga tatkala kita mengetahui demikian agungnya kedudukan tauhid dalam kehidupan manusia maka hal itu menjadi pemacu bagi kita supaya mengetahui lebih jauh dan rinci tentang tauhid. Hal ini agar tauhid tidak hanya sebagai pengakuan belaka namun betul-betul terpatri dalam diri kita baik secara dhohir maupun bathin. Semoga Allah memudahkan bagi kita semua untuk menempuh jalan ini. Amin.

Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Ust. Abu Isa Abdullah bin Salam

Read More......

Musim Hujan T'lah Tiba. Berikut Adab-adab Ketika Turun Hujan...................  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41]: 39)

Turunnya Hujan, Salah Satu Waktu Terkabulnya Do’a

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, 4/342 mengatakan, “Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

“Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan: [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat hadits no. 1026 pada Shohihul Jami’)

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثِنْتَانِ لا تُرَدَّانِ، أَوْ قَالَ: مَا تُرَدَّانِ، الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ الْبَأْسِ، حِينَ يَلْتَحِمَ بَعْضُهُ بَعْضًا وَفِي رِوَايَة : ” وَتَحْتَ المَطَر ”

“Dua orang yang tidak ditolak do’anya adalah: [1] ketika adzan dan [2] ketika rapatnya barisan pada saat perang.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan ketika hujan turun.” (HR. Abu Daud dan Ad Darimi, namun Ad Darimi tidak menyebut, “Dan ketika hujan turun.” Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih)

Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan

Apabila Allah memberi nikmat dengan diturunkannya hujan, dianjurkan bagi seorang muslim untuk membaca do’a,

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat.”

Itulah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat hujan turun. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat hujan turun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ‘Allahumma shoyyiban nafi’an’. (HR. Bukhari, Ahmad, dan An Nasai). Yang dimaksud shoyyiban adalah hujan. (Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, 3/113, Maktabah Syamilah dan Zaadul Ma’ad, I/439, Maktabah Syamilah)

Tatkala Terjadi Hujan Lebat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian tatkala hujan turun begitu lebatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari no. 1013 dan 1014). Oleh karena itu, saat turun hujan lebat sehingga ditakutkan membahayakan manusia, dianjurkan untuk membaca do’a di atas. (Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, 3/114, Maktabah Syamilah)

Mengambil Berkah dari Air Hujan

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kehujanan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena dia baru saja Allah ciptakan.” (HR. Muslim no. 2120)

An Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/195, makna hadits ini adalah bahwasanya hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah ta’ala, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut. Kemudian An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih mulia melakukan sesuatu yang dia tidak ketahui, hendaknya dia menanyakan untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” (Lihat Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 6/195, Maktabah Syamilah)

Dianjurkan Berwudhu dari Air Hujan

Dianjurkan untuk berwudhu dari air hujan apabila airnya mengalir deras (Lihat Al Mughni, 4/343, Maktabah Syamilah). Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ

“Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.” (Lihat Zaadul Ma’ad, I/439, Maktabah Syamilah)

Namun, hadits di atas munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi (Lihat Irwa’ul Gholil). Hadits yang serupa adalah,

كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ ”

“Apabila air mengalir di lembah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci’, kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil)

Do’a Setelah Turunnya Hujan

Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Muslim no. 240)

Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, jika meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.” (Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Maktabah Syamilah)

Janganlah Mencela Hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan kenikmatan dari Allah ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan dari seorang muslim seperti ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’. Sungguh, kata-kata seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali, dan tentu saja akan masuk dalam catatan amal yang jelek karena Allah berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50]: 18)

Bahkan kata-kata seperti ini bisa termasuk kesyirikan sebagaimana seseorang mencela makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa seperti masa (waktu). Hal ini dapat dilihat pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ “ (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa, termasuk juga hujan adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, ‘Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat’-, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa. (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid, 227-231)

Perhatikanlah hal ini! Semoga Allah selalu menjaga kita, agar lisan ini banyak bersyukur kepada-Nya atas karunia hujan ini, dan semoga Allah melindungi kita dari banyak mencela.

MENGENAI GUNTUR/PETIR DAN KILAT

Ar Ra’du (petir) adalah suara yang didengar dari awan. Sedangkan Ash Showa’iq (kilat) adalah api (cahaya) yang muncul dari langit bersamaan dengan suara petir yang keras. (Rosysyul Barod, 381, Darud Da’i Linnashri wat Tawzii’)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang petir, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ

“Petir adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.”

Begitu juga ketika Ali ditanya, sebagaimana dikatakan Al Khoroithi dalam Makarimil Akhlaq. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Petir adalah malaikat, dan suaranya itu adalah pengoyak di tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga, “Suaranya itu adalah pengoyak dari besi di tangannya.”

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan lagi, “Ar ro’du adalah mashdar (kata kerja yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti gemuruh, pen). … Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di atas (langit, pen) maupun di bawah (bumi, pen) adalah dari malaikat. Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi, lidah, dan dan tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya, bisa mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena itu, guntur adalah suara yang membentak awan. Dan kilat adalah kilauan air atau kilauan cahaya… “ (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 24/263-264)

Ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 19, As Suyuthi mengatakan bahwa petir (Ar Ra’du) adalah malaikat yang ditugasi mengatur awan. Ada juga yang berpendapat bahwa petir adalah suara malaikat. Sedangkan kilat (barq) adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat tersebut untuk menggiring mendung (Tafsir Jalalain dengan Hasyiyah ash Showi 1/31, ed).

Do’a Ketika Mendengar Petir

Dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِي سَبَّحَتْ لَهُ

‘Subhanalladzi sabbahat lahu’ (Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya). Lalu beliau mengatakan, “Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.” (Lihat Adabul Mufrod no. 722, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Apabila Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

‘Subhanalladzi yusabbihur ro’du bihamdihi wal malaikatu min khiifatih’ (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya).

Kemudian beliau mengatakan,

إِنَّ هَذَا لَوَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِأَهْلِ الأَرْضِ

“Inilah ancaman yang sangat keras untuk penduduk suatu negeri.” (Lihat Adabul Mufrod no. 723, dishohihkan oleh Syaikh Al Albani)

Mengutip dari : Artikel www.muslim.or.id

Penyusun: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Read More......

DZULHIJJAH, tamu kita setelah ramadhan  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO

Ramadhan, beberapa saat yang lalu telah meninggalkan kita. Dengan berpisahnya kita dengan bulan Ramadhan, kita berharap semoga amal-amal kita pada bulan-bulan lain diterima di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana yang sangat kita harapkan di bulan mulia tersebut.

Tentunya kita tidak ingin kehilangan begitu saja sesuatu yang nilainya sangat utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala bukan ? Ketahuilah, kita tidak boleh berkecil hati dengan berlalunya bulan mulia tersebut. Sebagai hamba Allah Ta’ala yang taat, kita tidak henti-hentinya berupaya untuk tetap beriman akan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita harus selalu berharap akan kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala yang dilimpahkan atas kita.

Ternyata Allah Ta’ala melalui utusanNya Shalallahu ‘alaihi wassalam, telah menjanjikan bulan lain yang tidak kalah utamanya dibanding dengan keutamaan bulan Ramadhan. Mengapa demikian ?

Tidak lain, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda (yang artinya): “Dua bulan untuk berhari raya tidak berkurang keduanya, Ramadhan dan Dzulhijjah.” (HR Muslim 1089).

Adapun keutamaan bulan Dzulhijjah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, teladan kita yang mulia telah bersabda (yang artinya): “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari (dari bulan Dzulhijjah). Mereka bertanya : “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatupun.” (HR Jama’ah kecuali Muslim dan an Nasa’i).

Dikarenakan adanya keutamaan yang besar dari beberapa hari diantara bulan Dzulhijjah tersebut, maka sangat utama pula kita mengisinya dengan amal sholih sebagai kelanjutan tabungan pahala amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu.

Diantara amal-amal yang perlu kita lakukan, cukuplah sekiranya hal itu membuat kita dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain adalah :

1. Banyak berdzikir pada hari-hari tersebut

Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya): “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan.” (Al Hajj 28).

Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah, demikian pula para mufassir lainnya diantaranya Ibnu Katsir rahimahullah. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Tidak ada hari yang amal sholih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari yang sepuluh ini.” (HR Bukhari).

Ishaq dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, meriwayatkan dari salah seorang gurunya bahwa pada hari-hari tersebut dituntunkan mengucapkan: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu wallahu akbaru, Allahu akbar walillahil hamdu.”

Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, Allahu Maha Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allah-lah segala pujian. (HR Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud 2/168, Shohih, Al Albani dalam Tamamul Minnah cet. Darur Rayyah hal 356).

Para shahabat radliyallahu ‘anhum pun diantaranya Ibnu Umar dan Abu Hurairah biasa keluar menuju pasar pada sepuluh hari tersebut sambil membaca takbir.

Sa’id Ibn Zubair radliyallahu ‘anhu kalau sudah tiba sepuluh hari tersebut, ia benar-benar giat beramal sehingga hampir-hampir ia tidak kuasa untuk melakukannya.

2. Berpuasa pada hari tersebut, khususnya pada hari Arafah

Telah dituntunkan oleh teladan kita yang mulia, Rasullah Shalallahu ‘alaihi wassalam agar kita berpuasa pada hari Arafah, karena Allah Ta’ala melalui beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjanjikan (yang artinya): “Berpuasa pada hari Arafah (karena mengharap pahala dari Allah) melebur dosa-dosa selama dua tahun, tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya.” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Dawud dari Qatadah).

Kita mengetahui pula bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, karena hal ini khusus dipilih Allah Ta’ala untuk diriNya sendiri, sebagimana firman-Nya dalam hadits qudsi (yang artinya): “Semua amalan manusia untuk dirinya kecuali puasa, maka dia adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR Muslim, Ahmad dan An Nasa’i).

Dalam riwayat lain (yang artinya): “Sungguh dia telah meninggalkan makanan dan minumannya, serta nafsu syahwatnya demi untuk-Ku. Puasa itu adalah untuk-Ku. Akulah yang akan membalasnya, sedang kebajikan akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat.” (HR Bukhari dan Abu Dawud).

Dan simaklah janji Allah Ta’ala yang lain melalui RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam dari Abi Sa’id Al Khudri radiyallahu ‘anhu (yang artinya): “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR Jama’ah kecuali Abu Dawud).

3. Banyak bertaubat dan menjauhi maksiat

Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang gembira atas taubat seorang hambaNya, melebihi dari sesuatu apapun, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam (yang artinya): “Dari Barra’ bin ‘Adzib radiyallahu ‘anhu ia berkata, bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Bagaimana pendapatmu dengan gembiranya seorang laki-laki yang tunggangannya lepas kendali darinya menuju tanah gersang dan tandus, padahal tidak ada padanya makanan dan minuman, sedang makanan dan minumannya di atas tunggangannya, maka dia mencarinya sampai melelahkannya, lalu tunggangannya lewat di sekitar pohon, maka dia mengikat tali kekangnya dan dia mendapatkan kembali tunggangannya telah terikat.” Kami berkata : “Sungguh (sangat gembira) wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda : “Adapun demi Allah, Allah sungguh sangat gembira dengan taubat seorang hambaNya daripada laki-laki tersebut dengan tunggangannya.” (HR Muslim dalam kitab At Taubah).

Demikian pula Allah sangat cemburu manakala hambaNya berbuat maksiat. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu cemburu. Dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba mendatangi apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (Muttafaqun ‘alahi – Hadits shahih Bukhari Muslim).

4. Mengisi dan memperbanyak amalan sunnah setelah apa-apa yang diwajibkan

Pada akhirnya, cobalah simak janji Allah yang disabdakan melalui RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu (yang artinya): “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman : Barangsiapa yang memusuhi waliku (orang yang Allah cintai) maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan/fardhukan atasnya. Dan senantiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku sebagai pendengaranNya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk bekerja keras, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepadaKu, pasti Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepadaKu, pasti Aku melindunginya.” (HR Bukhari).

Itulah beberapa janji Allah dan RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena itu, mari kita isi hari-hari dari bulan Dzulhijjah ini dengan amalan ibadah yang membuat kita dicintai Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala A’lam

Bintu Hasyim

www.salafy.or.id

Read More......

UNTUKMU YANG BERJIWA HANIF  

Diposting oleh DEDDY TRIANTO

Sungguh hidayah menuju Islam yang hakiki itu merupakan kenikmatan yang terbesar dalam kehidupan manusia, karena ia adalah kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Orang-orang terdahulu telah mengorbankan semua yang ada pada diri mereka untuk meraihnya. Jalan itu pula kiranya yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam mendakwahkan kalimat tauhid untuk mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

1. HAKIKAT KEHIDUPAN

Tujuan Hidup

Setiap manusia sepakat dengan tujuan hidup, yaitu mencari dan menggapai kebahagian. Semua manusia ingin hidup bahagia, hanya saja kebanyakan manusia salah dalam mencari jalan kebahagiaan, banyak yang memilih sebuah jalan hidup yang ia sangka disana ada pantai kebahagian, padahal ia adalah jurang kebinasaan.

Banyak orang menyangka kebahagian itu ada pada harta, karenanya ia berletih-letih dan berpeluh mencari sumber-sumber harta. Setelah ia memperoleh harta tersebut, hatinya tetap gundah dan perasaan selalu gelisah, dalam harta yang banyak itu terdapat jiwa yang rapuh. Banyak pula yang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan itu adalah kebahagian, tetapi setelah pangkat dan kekuasaan diperoleh kebahagiaan semakin jauh darinya, yang terdengar hanya keluh kesahnya. Jadi apa kebahagiaan yang sesungguhnya? Apa kebahagian sejati yang harus dicari oleh manusia? Siapa sebenarnya orang yang bahagia? Apa sarana untuk mencapainya?

Manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu yang paling mengenal tentang seluk-beluk manusia, termasuk tentang sebab bahagia atau sengsara adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Muluk: 14)

Ketika Al-Quran ditadaburi dan syariat Islam dikaji, maka kebahagiaan yang hakiki adalah mengaplikasikan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan oleh-Nya dalam meniti jalan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Karena penghambaan diri inilah sebab diciptakannya manusia dan jin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada Ku". (QS. Adz-Dzaaryiat: 56)

Orang yang berpaling dari penghambaan diri, dialah orang yang sengsara, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta'. (QS. Thaha: 124)

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selain-Nya. Manusia yang berakal tentu akan bernaung kepada Dzat yang mampu mentaqdirkan segala sesuatu, ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam menyandarkan diri dan kepasrahan kepada-Nya.

Beban Amanah

Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia untuk sebuah tujuan yang mulia, yang akan memikul amanah yang sangat berat. Pantas saja tidak ada yang mau memikul amanah tersebut dari langit yang tinggi, gunung yang menjulang atau bumi yang terbentang, semuanya menyatakan enggan kecuali manusia. Allah menceritakan tentang perihal tersebut,
"Sesungguhnya telah kami sampaikan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zholim dan amat bodoh". (QS. Al-Ahzab: 72)
Apa gerangan amanah yang telah diikrarkan itu? Amanah itu adalah Islam dan peraturannya, yaitu janji kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Ahsanu ‘Amala

Al-Quran menyebutkan bahwa penciptaan alam, hidup dan mati untuk menguji manusia, siapa yang lebih baik amalnya. Itulah yang disebut dengan "Ahsanu ‘amala". Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk: 2)

"Sesungguhnya kami menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah yang terbaik perbuatannya". (QS. Al-Kahfi: 7)

Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu berkata "Ahsanu ‘amala, adalah amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar".

Jadi penghambaan diri yang paling sempurna dengan 2 syarat, yaitu hendaklah ‘ubudiyah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dan sesuai dengan syari'at.

2. GERBANG HIDAYAH

Fitrah Bekal Kebenaran

Setiap jiwa manusia diberi fitrah sebagai bekal untuk mencari kebenaran. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tahu manusia itu lemah dan membutuhkan Khaliq-nya. Fitrah itu adalah Islam, yaitu penyerahan diri kepada Dzat Yang Maha Kuasa, perasaan kerinduan terhadap kebenaran dan keinginan yang mendalam untuk menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi larangannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"(Berpegang teguhlah dengan) fitrah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah dirakit manusia dengannya, tidak ada perubahan pada penciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itulah agama yang lurus". (QS. Ar-Rum: 30)

Muara Kebenaran

Semua aktivitas badan yang lahir, perbuatan baik dan buruk, dikuasai oleh satu komando, yaitu hati. Ia bagaikan raja yang berkuasa mutlak terhadap bala tentaranya, semua tindakan harus dibawah perintah dan larangannya, ia pergunakan sekehendaknya dan ia suruh semaunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh, jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah dia adalah hati. (HR Bukhari 1/126 no.52, Muslim 11/57 no. 1599 dari Nu'man bin Basyir)

Hati yang bisa meraih hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah hati yang masih dalam kategori hidup dan hati yang masih memiliki cahaya sekalipun redup.

Tunjuki Aku Jalan yang Lurus

Ihdinashshirotholmustaqim,Shirotholladzina an'amta'alaihim.... tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat..., Begitu pentingnya hidayah, sehingga seorang hamba memohon minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam. Ketika hidayah jauh dari seorang, berarti kebinasaan dan kesengsaraanlah yang akan segera menimpanya. Hajat seorang hamba kepada hidayah seperti hajat badan terhadap udara, ia sangat membutuhkan sejumlah hidayah-nafas yang keluar masuk tubuhnya. Sebagaimana tubuh membutuhkan makan dan minum, hati juga membutuhkan hidayah sebagai makanan dan minumannya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Kebutuhan seorang hamba pada hidayah, melebihi kebutuhannya dari makan dan minum, kalau makan dan minum hanya dibutuhkan satu dua kali saja, sedangkan hidayah dibutuhkan sejumlah nafas". (Miftah Darus sa'adah, 1/61)

Jadilah Lentera

Orang yang merasakan manisnya hidayah dan lezatnya iman dialah orang yang punya motivasi dalam hidup dan bertabiat tidak pernah puas pada sesuatu, ia tidak puas kalau dirinya saja yang merengkuh kenikmatan dan merasakan kebahagiaan. Ia bagaikan lentera yang memberi penerangan buat dirinya sebagaimana ia menerangi yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya...". (QS. Al-An'am: 122)

3. Menuju Cara Beragama yang Benar

Setelah seseorang dihantarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke gerbang hidayah, yaitu "Islam" yakni keinginan untuk mencari kebenaran melalui ilmu dan iman serta usaha dan amal, berarti ia telah mendapatkan setengah kebahagiaan. Akan tetapi, tidak cukup sampai disana, ia menghendaki hidayah kedua dari Allah Subhanahu wa Ta'ala . yaitu, taufiq Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kebenaran pada semua tindakannya. Itulah yang disebut Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Quran;
"Dan orang yang berjuang di jalan kami, akan kami beri kepada mereka hidayah jalan-jalan kami...". (QS. Al-Ankabut : 69)

Para ulama berkata, "kami beri mereka taufiq untuk mendapatkan sarana yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka kepada ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala". (Tafsir Baghawi, 404)

Untuk menggapai hidayah yang kedua ini seorang muslim harus memiliki sifat :

Berjiwa Hanif

Orang yang berjiwa hanif yaitu orang yang condong kepada kebenaran, berkepribadian yang lurus dan istiqomah. Agama hanif yaitu agama yang jauh dari kesyirikan dan penyembahan berhala, dengan berkhitan dan melakukan manasik haji. (Qamus Muhith, 2/370)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;

"Tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukan dari orang musyrik. (QS. Ali ‘Imran : 67 )

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: jauh dari syirik dan condong kepada iman". (Tafsir Ibnu Katsir, 2/58)

Berserah Diri

Penyerahan diri dalam syari'at adalah "Islam", atau " taslim", yaitu tunduk, patuh dan menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tidak ada perlawanan, penolakan dan keraguan dalam melaksanakan perintah-Nya.

Memiliki Motivasi

Seorang yang memperoleh hidayah mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, maka selayaknya orang yang mencari akhirat akan memiliki semangat dan motivasi yang lebih besar untuk meraihnya.

Sabar dan Yakin

Sabar dan yakin sebagai syarat kebahagiaan hamba di dunia dan di akhirat, ketika dua hal ini telah diperoleh hamba, berarti ia telah menjadi insan kamil.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; "Dengan sabar dan yakin akan diperoleh kepemimpinan dalam din"

Mahyudin Ibnu Rusli

Maraji'
* "Untukmu yang Berjiwa Hanif". Karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.
* MP3 Bedah Buku "Untukmu yang Berjiwa Hanif" pada Acara Daurah Ilmiyah Islam III di Mesjid Jabal Rahmah Semen Padang.

Diringkas dari : http://dareliman.or.id

Read More......